Sabtu, 11 Juni 2011

Seperti Biasa (cerpen part 2)

Kubuka jendela kamarku dengan masih mengenakan mukena. Diluar masih gelap. Bintang-bintang pun masih enggan pulang. Tapi ayam jantan sudah mulai bernyanyi menyambut pagi. Aku terhenyak ketika angin datang membelaiku mesra. Pagi yang menakjubkan dengan masih banyak sesuatu yang akan terjadi yang Tuhan
suguhkan agar manusia bersyukur. Tapi banyak manusia yang tak bersyukur atas semua itu. Mereka egois, tamak, serakah. Apakah yang mereka fikirkan sebenarnya? Mereka akan hidup selamanya? Sungguh naif. Mereka tak sadar dengan apa yang mereka lakukan, mereka terlalu sibuk dengan urusan dunia mereka masing-masing. Tapi sungguh Alloh tidak akan dirugikan dengan ketamakan mereka itu.

"Niyara....!" suara mama yang melengking itu mengagetkanku.
"Ya mah..." ucapku.
"Jam enam, Nak!"
Astaghfirulloh, ga kerasa. Aku harus segera bergegas. Kupersiapkan segala sesuatu untuk menuntut ilmu hari ini. Segalanya dengan serba cepat karena jarak rumah ke sekolah cukup jauh.
Kukenakan sepatuku. Sejuta pengharapan doa aku sampaikan pada ibu tercinta. Dengan tetap berhati-hati aku langkahkan kaki kecilku dengan cepat. Aku tidak boleh ketinggalan bus!
Bus datang tidak lama setelah aku sampai di halte. Aku sangat bersyukur. Dan ternyata aku bertemu teman lama. Senangnya. Selama perjalanan kita terus bercakap tentang dulu yang menggemaskan. Tentang kekonyolan yang kita lakukan dulu.
Dulu itu memang indah, Kawan! Lain kali aku ceritakan waktu aku jatuh dari pohon mangga saat bermain petak umpet.
Bus melaju cepat. Dia turun lebih dulu dari aku. Dan tinggallah aku sendirian tanpanya. Namun, tak jauh dari tempatnya turun, sekolahku mulai terlihat. Sudah banyak mobil lalu lalang mengantarkan siswa siswi ke sekolah. Tanpa aku berkata, rupanya Pak Sopir tau aku akan turun di depan gedung sekolah yang megah itu. Aku pun turun dengan penuh kehati-hatian dan tak lupa membaca doa.
Senyuman renyah Pa Andi, Satpam sekolah menyambutku. Kumis tebalnya ia rapihkan betul-betul. Rambut model Amitha Bachannya itu, diolesi minyak rambut sehingga terlihat berkilauan. Dasi kupu-kupu yang ia pakai, membuat ia kelihatan menarik. Pakaian bersih dan rapi juga sepatu mengkilat membuat ia terlihat keren.
"Assalamu'alaikum, Pa An!" ucapku.
"Wa'alaikumsalam, Neng! Neng cantik hari ini."
"Bapak juga, terlihat keren hari ini. Aku suka dasi kupu-kupunya!"
"Terimakasih, Neng! Bapak jadi GR!"
"Bapak bisa aja! Yu ah Pak, aku ke kelas dulu ya! Dadah, Bapak!"
"Iya, Neng!"
Sepanjang perjalanan ke kelas, entah kenapa hatiku berdebar kencang. Padahal hari ini ga ada ulangan. Aneh. Sesampainya di kelas aku baru ingat suatu hal yang aku alami kemarin sore. Aku belum sempat bicara apapun padanya. Haaaaah.... itu semua membuat aku lemas.
Aku duduk di pojok paling kanan. Kulihat sekitar kelas. Hanya ada kursi dan meja yang tersusun rapi dan satu orang aneh di pojok paling kiri. Udo. Ya. Hanya aku dan Udo yang ada di kelas. Dia sendiri sedang asyik mendengarkan musik dari headset yang padahal musiknya lebih keras dan lebih nyaring dari yang ia bayangkan. Seruangan kelaspun yang ukurannya 7 x 6 x 3.5 meter itu musiknya bisa terdengar. Tapi dengan muka anehnya itu dia tetap enjoy dan seolah tidak tahu kondisi yang sebenarnya.
Belum banyak orang datang. Padahal pelajaran akan dimulai 10 menit lagi. Nabil pun belum datang. Fikiran aneh pun mulai hadir dalam benakku. Apa dia sakit gara-gara kejadian kemaren? Wah? Tapi dia ga mungkin seperti itu.
Penghuni kelas lain mulai berdatangan. Sesekali mereka melihatku dengan mengernyitkan dahinya. Apa aku aneh hari ini? Tapi yang lebih aneh dia belum juga datang, Kawan? Padahal biasanya dia datang pagi. Aku semakin lemas karena tak kulihat dia diantara teman-temanku itu.
Matahari semakin tinggi. Sinarnya telah dapat masuk ke jendela-jendela kelas dan berbaur dengan debu sisa kemarin yang menyesakkan. Kulihat dari pintu yang masih terbuka itu salah satu temanku baru datang dengan model rambut barunya. Dengan wajah polos dan tanpa dosanya itu dia memasuki kelas dan mengarah kepadaku. "Assalamu'alaikum, Ra!"
"Wa'alaikumsalam..." jawabku
"Kamu lama ya menungguku, maaf ya... hihi"
"Ha? GR banget! Memangnya kamu itu siapa?"
"Gitu aja marah. Model rambut baruku bagus kan?"
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya itu Pak Sulton datang. Dia lalu bergegas ke tempatnya.
Kawan, sama sekali dia tidak marah dan sedikitpun tidak menyinggung tentang kejadian kemarin. Dia berlaga seperti tidak pernah terjadi sesuatu apapun kemarin. Tenang dan seperti biasa. Aku jadi heran. Tapi aku juga senang. Dan aku juga seperti biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar